Setsubun no Hi adalah festival tradisional Jepang yang sangat menarik dan menyenangkan, kususnya bagi anak-anak. Perayaan ini bertujuan untuk menandai hari terakhir musim dingin dan awal musim semi pada tanggal 3 Februari setiap tahunnya. Pada perayaan ini, masyarakat Jepang melakukan ritual melempar kedelai panggang atau kacang keberuntungan yang disebut “Fuku mame” untuk mengusir roh jahat dan membawa kebaikan.
Asal-usul
Setsubun no Hi berasal dari kata setsubun yang berarti “hari terakhir setiap musim”. Menurut kalender lunar, ada empat festival Setsubun dalam setahun: akhir musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Namun sejak zaman Edo (1603-1868), Setsubun hanya dirayakan pada akhir musim dingin, saat dianggap Tahun Baru. Pasalnya, masyarakat Jepang saat itu mengikuti penanggalan Tionghoa yang mengawali tahun baru di awal musim semi.
Perayaan Setsubun no Hi berkaitan dengan dengan kepercayaan Shinto dan Budha. Dalam agama Shinto, Setsubun adalah hari untuk menyucikan kotoran dan dosa yang terkumpul selama setahun terakhir. Dalam agama Buddha, Setsubun adalah waktu untuk mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman dan kesehatan masyarakat. Roh jahat ini disimbolkan sebagai setan, makhluk berwajah dan bertanduk menakutkan yang sering muncul dalam cerita rakyat Jepang.
Cara merayakan
Cara paling umum untuk merayakan Setsubun no Hi adalah dengan “Mame-maki” atau melempar kedelai panggang. Kacang kedelai dipilih karena dianggap sebagai makanan suci dan memiliki kekuatan untuk mengusir oni. Orang Jepang biasanya melempar kedelai di dalam rumah, sekolah, dan kuil sambil berteriak, “Oni wa Soto, Fuku wa Uchi!” Artinya, ” Setan keluar, keberuntungan di dalam” Selain itu, mereka juga memakan kacang kedelai sebanyak usia mereka plus satu untuk mendapatkan kesehatan dan panjang umur.
Salah satu hal yang menyenangkan dalam perayaan ini adalah adanya orang dewasa yang berperan sebagai oni dengan memakai topeng dan kostum yang menyeramkan. Biasanya, orang dewasa tersebut adalah ayah atau guru dari anak-anak yang akan dilempari kacang kedelai. Hal ini bertujuan untuk menghibur sekaligus mendidik anak-anak agar tidak takut dengan oni dan berani menghadapi kesulitan.
Selain melempar kacang, tradisi lain yang dilakukan pada perayaan Setsubun no Hi adalah memakan “Eho-maki“, atau sushi gulung berukuran besar, tanpa dipotong. Eho-maki merupakan makanan Khas Osaka, dan kemudian menyebar ke seluruh Jepang. Eho-maki biasanya mengandung tujuh bahan: Telur dadar, mentimun, wortel, teri kering, jamur shiitake, lobak putih, dan gula merah. Ketujuh bahan ini melambangkan Tujuh Dewa Keberuntungan dalam kepercayaan Shinto.
Cara makan Eho-maki juga unik. Setiap tahunnya, masyarakat Jepang harus memakan Eho-maki sambil menghadap kearah Eho atau arah keberuntungan. Selain itu, mereka juga harus memakan Eho-maki tanpa berbicara dan mengucapkan harapan di dalam hati. Hal ini dipercaya dapat membuat harapan mereka terkabul.
Makna Setsubun no Hi
Setsubun no Hi merupakan festival yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Jepang. Perayaan ini bukan sekedar hiburan, tapi juga sebagai ungkapan rasa syukur dan harapan. Dengan melempar kacang, orang Jepang berharap bisa mengusir segala hal buruk yang mengganggu kebahagiaannya. Masyarakat Jepang mendoakan kesehatan dan kebahagiaan di tahun baru dengan mengonsumsi kedelai dan Eho-maki.
Setsubun no Hi juga merupakan festival yang mewakili kekayaan dan keunikan budaya dan tradisi Jepang. Perayaan ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jepang menghormati alam dan perubahan musim, serta bagaimana mereka menjaga kepercayaan dan nilai-nilai nenek moyang mereka. Perayaan ini menunjukkan betapa besarnya rasa cinta masyarakat Jepang terhadap anak-anak dan keluarganya serta betapa bersemangatnya mereka menikmati hidup.